LKBH UMSIDA Gelar Diskusi Publik: Mengupas “Setengah Hati Mengatur Pidana Mati” Lewat Perspektif Akademisi, Praktisi, dan Peneliti HAM

Sidoarjo, 14 November 2025 — LHBH UMSIDA bersama Prodi Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA) kembali menghadirkan ruang dialog ilmiah melalui Diskusi Publik bertema “Setengah Hati Mengatur Pidana Mati”. Yang diikuti ratusan peserta, mulai dari mahasiswa, dosen, hingga aktivis.

Dalam pemaparannya, para narasumber membahas bagaimana kebijakan pidana mati di Indonesia masih menimbulkan banyak perdebatan, terutama terkait konsistensi pemerintah dalam mengatur dan menerapkannya. Tema “setengah hati” mencerminkan kritik terhadap kebijakan yang dianggap tidak tegas, baik dalam aspek hukum, HAM, maupun implementasi di lapangan.

Daniel Alexander Siagian dari LBH Surabaya, menekankan bahwa persoalan pidana mati tidak bisa dilepaskan dari problem mendasar dalam sistem peradilan pidana. Ia mengungkapkan bahwa masyarakat sering kali hanya melihat hukuman akhir, bukan proses yang melatarbelakanginya.
“Kita tidak hanya bicara apakah pidana mati perlu diterapkan atau tidak,” ujarnya, “tetapi apakah proses peradilannya sudah menjamin keadilan. Hak atas penasihat hukum, potensi salah tangkap, hingga tekanan psikologis tersangka—ini semua memengaruhi keabsahan putusan.”

Dari sisi akademik, Dr. Lidya Shery Muis, S.H., M.Kn., M.H., dosen Prodi Hukum UMSIDA, menyampaikan bahwa regulasi pidana mati di Indonesia masih menyisakan banyak ruang abu-abu. Menurutnya, sejumlah pasal dalam KUHP dan undang-undang terkait tidak menunjukkan keberpihakan yang tegas apakah negara ingin mempertahankan atau mulai menghapus pidana mati.
“Kita melihat ada pendekatan yang kompromistis,” jelasnya. “Pidana mati ditempatkan sebagai hukuman alternatif dalam beberapa konteks, tetapi pada saat yang sama tetap dipertahankan sebagai ancaman maksimal. Inilah yang saya sebut sebagai sikap ‘setengah hati’ dalam pengaturan.”

Sementara itu, Riyadh Putuhena, peneliti dari Imparsial, membawa perspektif hak asasi manusia yang lebih luas dengan menyoroti tren global. Ia menjelaskan bahwa lebih dari dua pertiga negara di dunia telah menghapus atau tidak lagi menerapkan pidana mati.
“Indonesia berada dalam posisi yang unik,” ucapnya. “Kita adalah negara demokratis yang aktif dalam diplomasi HAM, tetapi masih mempertahankan pidana mati. Pertanyaannya adalah: apakah kita siap bergerak menuju standar global, atau tetap mempertahankan status quo?”

Diskusi berjalan dinamis, dengan peserta aktif memberikan pertanyaan kritis mulai dari efektivitas pidana mati hingga isu etika yang mengikutinya. Beberapa mahasiswa bahkan mengangkat kasus-kasus aktual yang menempatkan pidana mati dalam sorotan publik.

Sebagai penutup, moderator acara, mewakili panitia penyelenggara, mengajak seluruh peserta untuk menjadikan diskusi ini sebagai pintu masuk bagi pemahaman yang lebih mendalam mengenai isu hukum yang kompleks.
“Diskusi ini bukan untuk mencari menang atau kalah,” tutur moderator, “tetapi untuk membuka ruang refleksi. Kita ingin mahasiswa memiliki keberanian berpikir kritis, terutama terhadap kebijakan yang berdampak pada martabat manusia.”

Dengan terselenggaranya kegiatan ini, UMSIDA menegaskan komitmennya dalam menghadirkan forum akademik yang inklusif, kritis, dan relevan bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta wacana hukum di Indonesia.

Related Posts

Leave a Reply