Oleh : Sofy Dwiyanti
Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Drama korea yang pernah saya tonton dengan judul “come and hug me” dengan jalan cerita seorang anak berumur 10 tahun melihat kematian orang tuanya dibunuh oleh seorang psikopat dihadapannya secara langsung, kemudian seiring berjalan waktu anak itu tumbuh dan pelaku pembunuhan orang tuanya telah akan selesai menjalani masa hukuman. Anak tersebut tumbuh dewasa akan tetapi setiap harinya merasa cemas dengan keadaan pelaku yang sudah dibebaskan. Hal ini membuat saya berpikir apabila terjadi hal tersebut di indonesia. Mengingat kembali kasus asusila dengan dengan inisial SP yang kemunculannya di televisi menjadi viral kemudian korban menyampaikan trauma melihat SP di televisi.
Apakah setelah proses hukum selesai maka permasalahan itu berhenti setelah pelaku menjalani masa hukumannya? Bagaimana kehidupan korban dan pelaku setelah dibebaskannya pelaku setelah menjalani proses hukum? Terlebih jika korban dan pelaku mempunyai hubungan yang dekat seperti hubungan keluarga, teman dan kerabat atau dekat dalam artian wilayah seperti desa, kota yang memungkinkan korban dan pelaku masih terhubung.
Dilihat dari proses atau tahapan penegakan hukum pidana, psikologi hukum berperan dalam 4 tahap, yaitu [1]
- pencegahan, peran psikologi hukum membantu pencegahan tindak kriminal biasanya dalam bentu kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh aparat hukum
- penanganan (pengungkapan lewat penyelidikan dan penyidikan), dengan memperlajari perilaku pihak-pihak dipersidangan antara lain saksi, korban, dan pelaku dalam memberikan keterangan.
- Pemidanaan, psikologi hukum membantu hakim memberikan hukuman berdasarakan keyakinan hakim sehingga sesuai dengan tujuan pemidaan.
- penghukuman atau pemenjaraan, bertujuan memperbaiki perilaku menjadi lebih baik dengan adanya perubahan psikis yang sehat.
Selama ini psikologi hukum sangat berperan penting dalam tahapan tersebut tetapi tidak sampai tataran akibat dari adanya suatu proses hukum. Mungkin proses hukum dapat dinyatakan selesai tetapi akibat dari adanya suatu proses hukum atau kejadian hukum dapat meimbulkan trauma. Psikologi Tidak hanya pada hukum pidana tetapi pada hukum perdata, contohnya anak yang boken home seringkali muncul trust issue dari perceraian orang tuanya.
Dalam ilmu psikologi mengenal Gejala PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) pada akhirnya akan mengganggu aktivitas korban atau Pelaku lantaran ingatan atau memori tentang kejadian itu akan selalu teringat. Hal ini penting mengaitkan antara ilmu psikologi dengan hukum yang mempunyai objek yang sama yaitu manusia. Terkadang dalam pengambilan keputusan fokus pada pemulihan korban dan fokus pada hukuman pelaku. ketika pelaku melakukan tindakan suatu kejahatan dapat dipastikan setengah dari kejiwaannnya ada yang “miss” karena manusia itu dasarnya baik dan bukan berarti ini menjadi alat meringankan hukuman (terkecuali disituasi yang khusus).
Menurut saya perlu perhatian khusus ketika ada kasus yang menyangkut anak dibawah umur tidak hanya fokus pemulihan pada waktu terjadi tapi juga pasca terjadi bahkan kalau bisa jaminan bimbingan konseling seumur hidup sampai anak tersebut dalam kondisi baik dan bisa dikatakan sembuh. Anak masih mempunyai kehidupan yang cukup panjang bahkan dpat melebihi dari masa hukuman dari pelaku, jangan sampai masa depan anak hancur. Bagaimanapun anak anak adalah penerus bangsa.
Pada tanggal 07 Oktober 2021 ada suatu kasus di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. seorang ibu melaporkan kejadian pemerkosaan atau kekerasan seksual yang dialami oleh ketiga anaknya, akan tetapi polisi menghentikan penyelidikan. Ternyata pelaku adalah ayah korban. Kasus ini masih berjalan setelah menjadi trending topik. Saya harap ibu korban dan korban mendapat pendampingan perkara dan pendampingan setelah perkara itu selesai terlebih untuk pendampingan psikis. terlebih kasus tersebut terjadi dilingkup keluarga yang seharusnya merasa aman.
References
[1] | J. R. Malonda, “Fungsi Psikologi Hukum dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia,” Lex Crimen , vol. VIII, no. 5, p. 8, 2019. |